Proses pembuatan tempe
Makanan
fermentasi merupakan makanan yang digunakan sebagai menu makanan
sehari-hari, karena cara membuatnya mudah, praktis, murah dan aman.
Banyak keuntungan yang bisa diambil dari produk makanan yang
difermentasi baik dari sifat-sifat organoleptik (indrawi),
peningkatan nilai gizi ataupun sanitasi. Keunggulan dari makanan
fermentasi antara lain memberikan penampakan, dan cita rasa yang
khas, misalnya pada tempe, oncom, tauco, berbeda dari penampakan atau
rasanya dengan bahan aslinya kedelai. Lantas memunyai aroma ng lebih
menyenangkan dengan terbentuknya asam, alkohol, ester dan senyawa
pembentuk aroma lainnya pada produk bir, yoghurt, keju, kecap,
anggur, acar, tape, tauco, brem.
Fermentasi
juga menurunkan senyawa beracun seperti anti tirosin pada kedelai,
yang kadarnya menurun bila dijadikan tempe. Fermentasi turut
mempertinggi nilai gizi, karena mikroba bersifat memecah senyawa
kompleks memjadi senyawa sederhana. Misalnya Rhizopus oligosporus
dapat meningkatkan vitamin B12 pada tempe. Begitu pula dengan
kandungan niacin dan riboflavin.
Tempe
adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau
beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang rhizopus,
seperti Rhizopus
oligosporus,
Rh.
oryzae,
Rh.
stolonifer
(kapang roti), atau
Rh.
arrhizus,
sehingga membentuk padatan kompak berwarna putih. Sediaan fermentasi
ini secara umum dikenal sebagai “ragi
tempe”.
Warna
putih pada tempe disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada
permukaan biji kedelai. Tekstur kompak juga disebabkan oleh mise1ia
jamur yang menghubungkan biji-biji kedelai tersebut. Banyak sekali
jamur yang aktif selama fermentasi, tetapi umumnya para peneliti
menganggap bahwa Rhizopus
sp
merupakanjamur yang paling dominan. Jamur yang tumbuh pada kedelai
tersebut menghasilkan enzim-enzim yang mampu merombak senyawa organik
kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga senyawa
tersebut dengan cepat dapat dipergunakan oleh tubuh.
Menurut
Sorenson dan Hesseltine (1986), Rhizopus
sp
tumbuh baik pada kisaran pH 3,4-6. Pada penelitian semakin lama waktu
fermentasi, pH tempe semakin meningkat sampai pH 8,4, sehinggajamur
semakin menurun karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan
jamur. Secara umum jamur juga membutuhkan air untuk pertumbuhannya,
tetapi kebutuhan air jamur lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri.
Selain pH dan kadar air yang kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur,
jumlah nutrien dalam bahan, juga dibutuhkan oleh jamur.
Rhizopus
oligosporus
menghasilkan
enzim-enzim protease. Perombakan senyawa kompleks protein menjadi
senyawa-senyawa lebih sederhana adalah penting dalam fermentasi
tempe, dan merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas tempe,
yaitu sebagai sumber protein nabati yang memiliki nilai cerna amat
tinggi. Kandungan protein yang dinyatakan sebagai kadar total
nitrogen memang tidak berubah selama fermentasi. Perubahan terjadi
atas kadar protein terlarut dan kadar asam amino bebas.
Berdasarkan
suatu penelitian, pada tahap fermentasi tempe ditemukan adanya
bakteri Micrococcus
sp.
Bakteri
Micrococcus
sp.
adalah
bakteri berbentuk kokus, gram positif, berpasangan tetrad atau
kelompok kecil, aerob dan tidak berspora, bisa tumbuh baik pada
medium nutrien agar pada suhu 30°C dibawah kondisi aerob.
Bakteri
ini menghasilkan senyawa isoflavon (sebagai antioksidan).
Adanya
bakteri Micrococcus
sp.
pada
proses fermentasi tempe tidak terlepas dari tahapan pembuatan tempe,
yang meliputi: penyortiran, pencucian biji kedelai diruang preparasi,
pengupasan kulit, perebusan kedelai, perendaman kedelai, penirisan,
peragian, pembungkusan, dan pemeraman. Selain itu faktor lingkungan
juga mempengaruhi pertumbuhan bakteri antara lain, waktu, suhu, air,
pH, suplai makanan dan ketersediaan oksigen.
Pada proses
fermentasi kedelai menjadi tempe terjadi aktivitas enzim amilolitik,
lipolitik dan proteolitik, yang diproduksi oleh kapang Rhizopus
sp. Pada proses pembuatan tempe, sedikitnya terdapat empat
genus rhizopus yang dapat digunakan. Rhizopus
oligosporus merupakan genus utama, kemudian Rhizopus
oryzae merupakan genus lainnya yang digunakan pada pembuatan
tempe Indonesia. Produsen tempe di Indonesia tidak menggunakan
inokulum berupa biakan murni kapang Rhizopus sp., namun menggunakan
inokulum dalam bentuk bubuk yang disebut inokulum biakan kapang pada
daun waru yang disebut usar. Pada penelitian ini dipelajari aktivitas
enzim-enzim a-amilase, lipase dan protease pada proses fermentasi
kedelai menjadi tempe menggunakan biakan murni rhizopus oligosporus.
Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa aktivitas enzim dipengaruhi
oleh jenis inokulum dan waktu fermentasi. Juga terdapat interaksi
antara waktu fermentasi dan jenis inokulum terhadap aktivitas
enzim-enzim aminolitik, lipolitik, proteolitik.
fermentasi
merupakan tahap terpenting dalam proses pembuatan tempe.
Menurut hasil penelitian pada tahap fermentasi terjadi penguraian
karbohidrat, lemak, protein dan senyawa-senyawa lain dalam kedelai
menjadi molekul-molekul yang lebih kecil sehingga mudah dimafaatkan
tubuh. Untuk membeuat tempe dibutuhkan inokulum atau laru tempe atau
ragi tempe. Laru tempe dapat dijumpai dalam berbagai bentuk misalnya
bentuk tepung atau yang menempel pada daun waru dan dikenal dengan
nama Usar.
Laru dalam bentuk tepung dibuat dengan cara menumbuhkan spora kapang
pada bahan, dikeringkan dan kemudian ditumbuk. Bahan yang akan
digunakan untuk sporulasi dapat bermacam-macam seperti tepung terigu,
beras, jagung, atau umbi-umbian.
v
Mikroba yang digunakan dalam fermentasi
tempe
Mikroba yang sering
dijumpai pada larut tempe adalah kapang jenis Rhizopus
oligosporus, atau kapang dari jenis Rhizopus.
oryzae. Sedangkan pada laru murni campuran selain kapang
Rhizopus oligosporus, dapat dijumpai pula kultur murni
bakteri Klebsiella.
Selain bakteri
Klebsiella, ada beberapa jenis bakteri yang
berperan pula dalam proses fermentasi tempe diantaranya adalah:
Bacillus sp., Lactobacillus sp.,
Pediococcus sp., Streptococcus sp.,
dan beberapa genus bakteri yang memproduksi vitamin B12. Adanya
bakteri Bacillus sp pada tempe merupakan kontaminan,
sehingga hal ini tidak diinginkan.
Pada tempe yang
berbeda aslnya sering dijumpai adanya kapang yang berbeda pula
(Dwidjoseputro dan Wolf, 1970). Jenis kapang yang terdapat pada tempe
Malang adalah Rhizopus. oryzae.,
Rhizopus.oligosporus., Rhizopus.arrhizus
dan Mucor rouxii. Kapang tempe dari daerah Surakarta
adalah R. oryzaei dan R. stolonifer sedangkan pada
tempe Jakarta dapat dijumpai adanya kapang Mucor javanicus.,
Trichosporon pullulans., A. niger
dan Fusarium sp.
Masing-masing
varietas dari kapang Rhizopus berbeda
reaksi biokimianya, hal ini terutama disebabkan adanya perbedaan dari
enzim yang dihasilkan. Pektinase hanya
disintesa oleh R. arrhizus
dan R. stolonifer.
Sedangkan enzim amilase disintesa oleh R.
oligosporus dan R.
oryzae tetapi tidak disintesa oleh
R. arrhizus.
v
Karakteristik Rhizopus:
• Rhizopus.
oligosporus:
–Aktivitas
protease & lipase paling kuat
–Aktivitas
amilase paling lemah
–Baik
unt tempe dari serealia atau campuran kedelai -serealia
• Rhizopus.
oryzae
–Aktivitas
amilase paling kuat
–Tidak
baik untuk tempe serealia
–Aktivitas
protease di bawah R. oligospporus
–Digunakan
di Jawa Tengah dan Jawa Timur
• Rhizopus.
achlamydosporus
–Aktivitas
protease tertinggi no.3
–Memiliki
aktivitas amilase cukup baik
–Bagus
unt tempe tetapi belum umum
• Rhizopus.
cohnii
–Bagus
untuk tempe koro benguk/kedelai.
2.3
Tahap - Tahap pembuatan tempe
Tempe
merupakan salah satu makanan hasil fermentasi yang dilakukan oleh
spesies jamur tertentu. Selama proses fermentasi ini terjadi
perubahan fisik dan kimiawi pada kedelai sehingga menjadi tempe.
Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pembuatan tempe,
salah satunya adalah aerasi (Hastuti 2008).
Proses pembuatan
tempe melibatkan tiga faktor pendukung, yaitu bahan yang dipakai
(kedelai), mikroorganisme (kapang ), dan keadaan lingkungan tumbuh
(suhu, pH, dan kelembaban). Dalam proses fermentasi tempe kedelai,
substrat yang digunakan adalah keping-keping biji kedelai yang telah
direbus. mikroorganismenya berupa kapang antara lain Rhizopus
olygosporus,
Rhizopus
oryzae,
Rhizopus stolonifer
(dapat terdiri atas kombinasi dua spesies atau ketiganya) dan
lingkungan pendukung yang terdiri dari suhu 30˚C, pH awal 6,8%
kelembaban nisbi 70-80% (Sarwono, 2001 dalam Wijayanti, 2002).
Cara pembuatan
tempe
Pembuatan
tempe dilakukan dengan dua cara yaitu secara modern dan tradisional.
Adapun tahap-tahap pembuatan tempe menurut Wijayanti (2002) adalah
sebagai berikut.
1. Penyortiran,
bertujuan untuk memperoleh produk tempe yang berkualitas, yaitu
memilih biji kedelai yang bagus dan padat berisi. Biasanya di dalam
biji kedelai tercampur kotoran seperti pasir atau biji yang keriput
dan keropos. Cara membersihkannya adalah biji-biji kedelai diletakkan
pada tampah kemudian ditampi, maka akan diperoleh biji kedelai yang
berkualitas.
2. Pencucian,
bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat maupun
tercampur di antara biji kedelai. Kedelai dimasukkan wadah kemudian
dicuci dengan air. Pada saat pencucian dilakukan pembuangan biji yang
mengambang di air.
3. Perebusan 1,
bertujuan untuk melunakkan biji kedelai dan memudahkan dalam
pengupasan kulit serta bertujuan untuk menonaktifkan tripsin
inhibitor yang ada dalam biji kedelai. Selain itu pencucian 1 ini
bertujuan untuk mengurangi bau langu dari kedelai. Perebusan
dilakukan selama 30 menit atau ditandai dengan mudah terkelupasnya
kulit kedelai jika ditekan dengan jari tangan.
4. Pengupasan kulit,
bertujuan untuk membuang kulit kedelai, sebab bila kulit kedelai
tidak dibuang maka kapang tempe tidak dapat tumbuh pada biji kedelai.
Pada pengupasan kulit diusahakan agar keping lembaga kedelai
(kotiledon) terpisah, karena penetrasi miselium kapang lebih banyak
terjadi pada permukaan datar daripada permukaan yang lengkung.
Pengupasan kulit dapat dilakukan dengan menggunakan mesin maupun
tangan. Kedelai dapat dikupas kulitnya dengan cara diremas-remas,
dikuliti dan terjadilah keping-keping kedelai. Kemudian biji kedelai
tersebut dicuci sehingga kulit kedelai yang sudah terkelupas dapat
dipisahkan atau dibuang.
5.
Perendaman, bertujuan untuk melunakkan biji dan mencegah pertumbuhan
bakteri pembusuk selama fermentasi. Ketika perendaman, pada kulit
biji kedelai telah berlangsung proses fermentasi oleh bakteri yang
terdapat di air terutama oleh bakteri asam laktat. Perendaman juga
betujuan untuk memberikan kesempatan kepada keping-keping kedelai
menyerap air sehingga menjamin pertumbuhan kapang menjadi optimum.
Selama perendaman, pH turun dari 6,5 sampai 4,5-5,3 (Steinkraus, 1983
dalam Wijayanti, 2002). Keadaan ini tidak
mempengaruhi pertumbuhan kapang tetapi mencegah berkembangnya bakteri
yang tidak diinginkan. Perendaman ini dapat menggunakan air biasa
atau air yang ditambah asam asetat sehingga pH larutan mencapai 4-5.
perendaman dilakukan selama 12-16 jam pada sushu kamar (25-30˚C).
6. Perebusan 2,
bertujuan untuk lebih melunakkan biji kedelai sehingga memudahkan
kapang menembus keping-keping biji kedelai. Selain itu, dengan
perebusan akan membunuh bakteri yang kemungkinan tumbuh selama
perendaman, menonaktifkan tripsin inhibitor dan beberapa zat gizi
yang diperlukan untuk pertumbuhan kapang.
7. Penirisan dan
pendinginan. Biji kedelai harus didinginkan sampai suhu 30˚C sebelum
peragian. Biji kedelai harus benar-benar kering angin pada saat
inokulasi sehingga pada permukaan tidak terjadi gangguan karena
adanya uap air yang dapat mendorong pertumbuhan bakteri yang tidak
diinginkan.
8.
Penginokulasian/peragian. Pada tahap ini terjadi fermentasi oleh
Rhizopus
sp.
yang diperoleh dari laru daun, laru tempe maupun tepung ragi. Laru
tempe paling sedikit mengandung tiga spesies kapang dari genus
Rhizopus, yaitu R.
olygosporus, R. oryzae, dan
R.
stolonifer atau
R. chlamydosporus.
Pada
proses pembuatan tempe R.
olygosporus mensintesis
enzim pemecah protein (protease) lebih banyak sedangkan R.
oryzae
lebih
banyak mensintesis enzim pemecah pati (-amilase).
Kapang
memerlukan oksigen yang cukup untuk memacu pertumbuhannya, apabila
kadar oksigen kurang pertumbuhan kapang pada substrat lambat. Uap air
yang berlebihan akan menghambat difusi oksigen ke dalam kedelai
sehingga dapat menghambat pertumbuhan kapang. Untuk itu pada saat
pembungkusan sebaiknya aliran udara diatur agar tidak terlalu kedap,
yaitu dengan memberi lubang apabila dibungkus dengan plastik.
Selain
oksigen kapang juga memerlukan suhu dan kelembaban yang sesuai untuk
pertumbuhannya. Kedelai calon tempe harus mengandung cukup air.
Apabila terlalu kering dan kelembaban kurang maka substrat kedelai
sukar ditembus dan dilapukkan oleh miselium kapang. Sebaliknya
apabila terlalu basah, maka akan menghambat penyebaran oksigen
sehingga pertumbuhan miselium kapang terhambat.
9. Pembungkusan,
dapat menggunakan daun pisang atau plastik polietilen. Penggunaan
plastik polietilen berupa lembaran atau kantung sebagai pembungkus
pada saat kedelai diperam dapat dilakukan dengan memberikan
lubang-lubang kecil yang berjarak 0,25- 1,3 cm. Pemberian lubang pada
plastik bertujuan agar oksigen dapat masuk dengan lancar.
10. Pemeraman.
Selama pembuatan tempe terjadi kenaikan suhu sampai 40˚C karena
adanya pertumbuhan kapang, dan hifa kapang yang akan melakukan
penetrasi ke dalam keping biji kedelai. Menurut Steinkraus (1983)
dalam Wijayanti (2002) kondisi pemeraman dalam pembuatan tempe tidak
mutlak, asalkan seluruh kebutuhan yang pokok untuk pertumbuhan kapang
terpenuhi. Kondisi uap air, oksigen, dan panas harus cukup dan tidak
boleh berlebihan. Begitu juga zat gizi yang tersedia untuk
menjamin pertumbuhan
kapang. Apabila kondisi pemeraman sesuai maka miselium kapang akan
tumbuh dan mengeluarkan enzim protease, lipase, dan amilase ke
lingkungan sekitarnya. Enzim-enzim tersebut akan menguaraikan
protein, lemak, dan karbohidrat yang terdapat pada kepingan biji
kedelai menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti asam amino, asam
lemak, dan glukosa.
Menurut
Sarwono (2001) dalam Wijayanti (2002) selama proses fermentasi
kedelai menjadi tempe akan terjadi peningkatan kandungan fosfor
karena hasil kerja enzim fitase yang dihasilkan oleh kapang R.
olygosporus.
Selain itu kapang tersebut juga dapat menghidrolisis asam fitat
menjadi inositol dan fosfat yang bebas. Spesies-spesies kapang yang
terlibat dalam fermentasi tempe tidak memproduksi racun, bahkan
kapang itu mampu melindungi tempe terhadap kapang penghasil
aflatoksin. Selain itu tempe juga mengandung senyawa anti bakteri
yang diproduksi kapang selama fermentasi berlangsung. Konsumen tidak
perlu khawatir terhadap aflatoksin, yang dihasilkan oleh kapang
kontaminan, karena kapang-kapang yang dipakai untuk membuat tempe
dapat menurunkan kadar aflatoksin hingga 70%. Selain adanya daya
hambat kapang pada tempe terhadap aflatoksin, kedelai juga mengandung
seng yang menghambat sintesis aflatoksi.
mg bermanfaat gan.
BalasHapusamin....
Hapus