Pengertian dan ciri hadis mutawatir
BAB I
PENDAHULUAN
Pada Awalnya rasulullah
SAW melarang sahabat untuk menulis hadis, karena dikhawatirkan
bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur'an. Perintah untuk
melukiskan hadis yang pertama kali oleh khalifah umar bn abdul azis.
Beliau penulis surat kepada gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin
Muhammad bin Amr hazm al-alsory untuk membukukan hadis. Sedangkan
ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah Arroby bin Sobiy
dan Said bin Abi Arobah, akan tetapi pengumpulan hadis tersebut masih
acak (tercampur antara yang sohih dengan dhoif, dan perkataan para
sahabat).
Sebagian orang bingung
melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Tetapi
kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat pembagian
hadis yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi
pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja.
Hadis memiliki beberapa
cabang dan masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan
tersendiri. dalam makalah ini akan dikemukakan pembaian hadis dari
tinjauan kuantitas perawi. Sedangkan tinjauan mengenai kualitas akan
dibahas oleh makalah yang dibawakan oleh kelompok lain.
Untuk mengungkapkan
tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi para
penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda.
Sedangkan mereka melihat pembagian hadis dari segi bagaimana proses
penyampaian hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau
jumlah perawinya.
BAB II
PEMBAHASAN
Kuantitas hadis disini
yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadis atau dari
segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara
garis besar menjadi dua macam, yaitu hadis mutawatir dan
hadis ahad , disamping pembagian lain yang diikuti oleh
sebagian para ulama, yaitu pembagian menjadi tiga macam yaitu: hadis
mutawatir , hadis masyhur (hadis mustafidh) dan hadis ahad
.
A. Pengertian dan ciri Hadits Mutawatir
1. Pengertian Hadis Mutawatir
Dari segi bahasa,
mutawatir, berarti sesuatu yang dating secara beriringan
tanpa diselangai antara satu sama lain. Adapun dari segi istilah
yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan
seterusnya sampai akhir sanad. Dan sanadnya mereka adalah pancaindra.
Berdasarkan definisinya ada 4 kriteria hadis mutawati, yaitu
sebagai berikut :
a. Diriwayatkan Sejumlah Orang Banyak
Para perawi hadis
mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Para ulama
berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada para perawi hadis
tersebut dan tidak ada pembatasan yang tetap. Di antara mereka
berpendapat 4 orang, 5 orang, 10 orang, 40 orang, 70 orang bahkan ada
yang berpendapat 300 orang lebih. Namun, pendapat yang terpilih
minimal 10 orang seperti pendapat Al-Ishthikhari.
b. Adanya Jumlah Banyak Pada Seluruh Tingkatan Sanad
Jumlah banyak orang pada
setiap tingkatan (thabaqat) sanad dari awal sampai akhir sanad. Jika
jumlah banyak tersebut hanya pada sebagian sanad saja maka tidak
dinamakan mutawatir , tatapi dinamakan ahad atau
wahid.
c. Mustahil Bersepakat Bohong
Di antara alas an
pengingkar sunnah dalam penolakan mutawatir adalah
pencapaian jumlah banyak tidak menjamin dihukumi mutawatir karena
dimungkinkan adanya kesepakatan berbohong. Hal ini karena mereka
menganalogikan dengan realita dunia modern dan kejujurannya yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan, apalagi jika ditunggangi masalah
politik dan lain-lain. Demikian halnya belum dikatakan mutawatir
karena sekalipun sudah mencapai jumlah banyak tetapi masih
memungkinkan untuk berkosensus berbohong.
d. Sandaran Berita Itu Pada Pancaindra
Maksud sandaran
pancaindra adalah berita itu didengar dengan telinga atau dilihat
dengan mata dan disentuh dengan kulit, tidak disandarkan pada logika
atau akal seperti tentang sifat barunya alam, berdasarkan kaedah
logika; Setiap yang baru itu berubah (Kullu hadis in
mutghayyirun). Alam berubah (al-alamu mutaghayyirun). Jika demikian,
Alam adalah baru (al-alamu hadis un). Baru artinya sesuatu
yang diciptakan bukan wujud dengan sendirinya.
A.
Hadis Mutawatir
1.
Pegertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut
bahasa adalah isim fa’il musytaq dari at-tawatur artinya At-tatabu’
(berturut-turut).
Adapun
hadis mutawatir menurut istilah ulama hadis adalah
حُوَ
خَبْرٌ عَنْ مَحْسُوْسٍ رَوَاهُ عَدَدٌ
جَمٌّ يُجِبُ فيِ العَادَةِ اِحَالَةُ
اِجْتِمَاعِهِمْ و تَوَاطُئِحِمْ عَلى
الْكَذِبِ
Khabar yang di
dasarkan pada pancaindra yang di kabarkan oleh sejumlah orang yang
mustahil menurut adat mereka bersepekat untuk mengkabarkan berita itu
dengan dusta
Ada juga yang
mengartikan hadis mutawatir sebagai berikut:
Secara bahasa,
mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur
yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah
“apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut
kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal
hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi
yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin
para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits,
dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat
diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”.
2.
Pembagian Hadis Mutawatir
Menurut
sebagian ulama, hadis mutawatir itu terbagi menjadi dua, yakni
Mutawatir Lafzi dan Mutawatir Ma’nawi, namun sebagian yang lain
membagi menjadi tiga, yakni Hadis Mutawatir Lafzi, Ma’nawi, dan
‘Amali.
a.
Hadis
mutawatir lafzhi
Yang dimaksud hadis
mutawatir lafzi adalah:
ما
تواترت روايته على لفظ واحد
“Hadis yang
mutawatir periwayatannya dalam satu lafzi.”
Hadis mutawatir
lafzi
ialah hadis yang
makna dan lafadznya memang mutawatir. Contohnya :
من
كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Barangsiapa
berdusta atas namaku secara sengaja, maka kehendaknya ia bersiap-siap
menempati tempatnya di neraka.”
Hadis ini
diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang sahabat.
b.
Hadis
mutawatir maknawi
Hadis mutawatir
ma’nawi ialah:
ما
تواتر معناه دون لفظه
“Hadis yang
maknanya mutawatir, tetapi lafaznya tidak.”
Contoh hadis ini
adalah:
وقال
ابو موسى الأشعرى دعا النبي صلى الله عله
وسلم ثم رفع يديه ورأيت بياض ابطيه
“Abu Musa
Al-‘Asyari berkata: Nabi SAW berdoa kemudian mengangkat kedua
tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya.”
Hadis-hadis yang
menggambarkan keadaan Rasulullah SAW seperti ini ada sekitar 100
hadis. Masing-masing hadis menyebutkan Rasulullah SAW mengangkat
kedua tangannya ketika berdoa, meskipun masing-masing (hadis) terkait
dengan berbagai perkara (kasus) yang berbeda-beda. Masing-masing
perkara tadi tidak bersifat mutawatir. Penetapan bahwa mengangkat
kedua tangan ketika berdoa itu termasuk mutawatir karena pertimbangan
digabungkannya berbagai jalur hadis tersebut.
c.Hadis mutawatir
‘amali
Yang
dimaksud dengan hadis ini ialah:
ما
علم من الدين باالضرورة وتواتر بين
المسلمين ان النبي صلى الله عليه وسلم
فعله او امربه او غير ذلك وهو الذي ينطبق
عليه تعريف الإجماع إنطباقا صحيحا
“Sesuatu yang
diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah
mutawatir antara umat Islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya
menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai dengan
ta’rif Ijma.”
Macam
hadis mutawatir ‘amali ini banyak jumlahnya, seperti hadis yang
menerangkan waktu shalat, raka’at shalat, shalat jenazah, shalat
‘id, tata cara shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan
lain-lain.
3. Kehujjahan
Hadis Mutawatir
Hadis
mutawatir mempunyai nilai ‘ilmu dharuri (ufid ila ‘ilmi
al’dhururi), yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya
sesuai dengan yang diberikan oleh hadis tersebut, hingga membawa
kepada keyakinan yang qath’i (pasti).
Ibnu
Thaimiyah mengatakan bahwa suatu hadis dianggap mutawatir oleh
sebagian golongan lain dan kadang-kadang telah membawa keyakinan bagi
suatu golongan tetapi tidak bagi golongan lain. Barang siapa yang
telah meyakini akan kemutawatiran suatu hadis, wajib baginya
mempercayai kebenarannya dan mengamalkan sesuai tuntutannya. Sedang
bagi orang yang belum mengetahui dan meyakini akan kemutawatirannya,
wajib baginya mempercayai dan mengamalkan suatu hadis mutawatir yang
disepakati oleh para ulama sebagaimana kewajiban mereka mengikuti
ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh imam
B. Hadis Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad
Ahad (baca:
aahaad) menurut bahasa adalah kata jamak dari waahid atau ahad .
Bila waahid atau ahad berarti satu, maka aahaad, sebagai
jamaknya, berarti satu-satu. Hadist ahad menurut bahasa
berarti hadist satu-satu. Sebagaimana halnya dengan pengertian hadist
mutawatir , maka pengertian hadist ahad , menurut
bahasa terasa belum jelas. Oleh karena itu, ada batasan yang
diberikan oleh ulama batasan hadist ahad antara lain
berbunyi: hadist ahad adalah hadist yang para rawinya tidak
mencapai jumlah rawi hadist mutawatir , baik rawinya itu
satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak
memberi pengertian bahwa hadist dengan jumlah rawi tersebut masuk
dalam kelompok hadist mutawatir , atau dengan kata lain
Hadis Ahad adalah hadis yang tidak mencapai derajat
mutawatir.
2. Pembagian Hadis Ahad
a. Hadist Masyhur (Hadist Mustafidah)
Masyhur menurut bahasa
berarti yang sudah tersebar atau yang sudah populer. Mustafidah
menurut bahasa juga berarti yang telah tersebar atau tersiar. Jadi
menurut bahasa hadist masyhur dan hadist mustafidah sama-sama berarti
hadist yang sudah tersebar atau tersiar. Atas dasar kesamaan dalam
pengertian bahasa para ulama juga memandang hadist masyhur dan hadist
mustafidah sama dalam pengartian istilah ilmu hadist yaitu: hadist
yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau lebih, dan beliau
mencapai derajat hadist mutawatir . Sedangkan batasan
tersebut, jumlah rawi hadist masyhur (hadist mustafidah) pada setiap
tingkatan tidak kurang dari tiga orang, dan bila lebih dari tiga
orang, maka jumlah itu belum mencapai jumlah rawi hadist mutawatir
.
Contoh hadits masyhur:
حَدَّثَنَا
آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي
خَالِدٍ
عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَاعَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ
الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى
اللَّهُ
عَنْهُ
Hadis
tersebut sejak tingkatan pertama (sahabat) sampai ketingkat imam-imam
yang membukukan hadis (dalam hal ini adalah Bukhari, Muslim dan
Tirmidzi) diriwayatkan tidak kurang dari tiga rawi dalam setiap
tingkatan.
Hadis
masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dhaif. Yang dimaksud
dengan hadis masyhur sahih adalah hadis masyhur yang telah mencapai
ketentuan-ketentuan hadis sahih baik pada sanad maupun matannya,
seperti hadis dari Ibnu Umar:
اذ
ا جاءكم الجمعمة فليفسل
Sedangkan
yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah apabila telah
mencapai ketentuan hadis hasan, begitu juga dikatakan dhoif jika
tidak memenuhi ketentuan hadis sahih.
b. Hadist ‘Aziz
Dinamakan Aziz
karena kelangkaan hadits ini. Sedangkan pengertiannya adalah hadits
yang jumlah perowinya tidak kurang dari dua.
Contoh:
حَدَّثَنَا
يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ
حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ
الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ
عَنْ
النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ
قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ
أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِين
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim dari dua sahabat yakni
Anas dan Abi Hurairoh. Hadis aziz juga ada yang sahih, hasan dan
dhaif tergantung pada terpenuhi atau tidaknya ketentuan –ketentuan
yang berkaitan dengan sahih, hasan dan dhoif.
c. Hadist Gharib
Adalah hadits yang
diriwayatkan satu perowi saja. Hadits Ghorib terbagi menjadi dua:
yaitu ghorib mutlaq dan ghorib nisbi.
Gorib mutlaq terjadi apabila
penyendirian perawi hanya terdapat pada satu thabaqat. Contoh :
أَخْبَرَنَا
عَلِىُّ بْنُ أَحْمَدَ أَخْبَرَنَا
عَلِىُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدَانَ
أَنْبَأَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ
اللَّخْمِىُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
عَبْدِ الْبَاقِى الأَذَنِىُّ حَدَّثَنَا
أَبُو عُمَيْرِ بْنُ النَّحَّاسِ
حَدَّثَنَا ضَمْرَةُ عَنْ
سُفْيَانَ
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ –
صلى الله عليه وسلم – قَالَ :
الْوَلاَءُ
لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ لاَ
يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ.[16]
Artinya: “kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan
kekerabatan dengan nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh
dihibahkan”.
Hadis
ini diterima dari Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya
Abdullah bin Dinar saja yang meriwayatkanya. Sedangkan Abdulallah bin
Dinar adalah seorang tabiin hafid, kuat ingatannya dan dapat
dipercaya.
Hadis
ghorib nisbi terjadi apabila penyendiriannya mengenai sifat atau
keadaan tertentu dari seorang perawi. Penyendirian seorang rawi
seperti ini bisa terjadi berkaitan dengan kesiqahan rawi atau
mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.
Contoh
dari hadis ghorib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal
tertentu:
حَدَّثَنَا
أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ
حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ
عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
قَالَ
Hadis ini diriwayatkan
oleh Abu Daud dengan sanad Abu Al-Walid, Hamman, Qatadah, Abu Nadrah
dan Said. Semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang
meriwayatkannya dari kota-kota lain.
3. Kedudukan Hadis Ahad
Bila hadist mutawatir
dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka
tidak demikian hadist ahad . Hadist ahad tidak
pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga ( zhanni dan
mazhnun) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan
bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW,
dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau.
Karena hadist ahad
itu tidak pasti (hgairu qath'i atau ghairu maqthu'), tetapi
diduga (zhanni atau mazhnun) berasal dari Rasulullah SAW, maka
kedudukan hadist ahad , sebagai sumber ajaran Islam, berada
dibawah kedudukan hadist mutawatir . Lain berarti bahwa bila
suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad ,
bertentangan isinya dengan hadist mutawatir , maka hadist
tersebut harus ditolak.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demikian hadis dilihat
dari kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas
bagi hadis mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para perawi
secara individu, atau menunjukan kualitas hadis ahad, jika
disertai pemeriksaan memenuhi persyaratan standar hadis yang makbul.
Hadis ahad masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi
sifat-sifat kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang dapat
mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu yaitu sifat
keadilan dank e-dhabith-an, ketersambungan sanad dan
ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadis mutawatir secara
absolute dan pasti (qath'i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa
oleh hadis ahad bersifat relative ( zhanni ) yang
wajib diamalkan.
Dalam kehidupan
sehari-hari seseorang dalam melaksanakan Islam tidak lepas dari zhann
dan itu sah-sah saja, misalnya menghadap ke kiblat ketika
shalat, pemeraan air mandi janabah pada seluruh anggota badan,
masuknya waktu imsak dan fajar bagi orang yang berpuasa, dan
lain-lain. Pengertian zhann tidak identik dengan syakk
(ragu) dan juga tidak identik dengan waham . Zhann
diartikan dugaan kuat (rajah) yang mendekati kepada keyakinan,
syakk diartikan dugaan yang seimbang antara ya dan tidak
sedang waham adalah dugaan lemah (marjuh) antomim zhann
.
B. Saran
Kami selaku pemakalah
mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini,
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman
semua agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nawawi, I. (2001). Dasar-Dasar
Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
As-Shalih, S. (1997). Membahas
Ilmu-Ilmu Hadits. Pustaka Firdaus: Jakarta.
Ismail, M. S. (1994). Pengantar Ilmu
Hadis. Bandung: Angkasa.
Khon, A. M. (2008). Ulumul Hadis.
Jakarta: Amzah.
Mudzakir, M. (1998). Ulumul Hadis.
Bandung: CV Pustaka Setia.
Rahman, F. (1974). Ikhtisar
Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma'arif.
Komentar
Posting Komentar